Aku Rindu, Tatapan Itu (End Story)

Hei kau, sebuah tatapan yang kurindukan, sekarang aku ingin kau membaca semua ini. Mungkin hanya lewat tulisan aku bisa menceritakan semua padamu. Aku tahu kau tidak suka membaca tulisan-tulisanku yang begitu panjang. Tapi ini adalah beberapa cerita yang tidak ingin kusimpan sendiri di hatiku. Aku ingin berbagi denganmu, tapi bahkan kau tak bisa kutemui secara langsung.

Lagu yang (sempat) kau katakan padaku itu, sampai sekarang masih kuingat kau ketika lagu itu diputar. Ketika kau duduk di belakangku tanpa mengatakan apapun, ditengah keramaian kelas ketika break, aku tahu, kau menyanyikan itu untukku.

Masih ingat dimana pertama kali kita makan bareng? Terminal Condong Catur. Bukan tempat yang cukup buruk karna aku menyukai tempat itu dimalam hari. After all, banyak sekali pilihan makan disana. Kau menceritakan tentang mengapa ruas jari kita terpisah. Kau mengatakan bahwa itu diciptakan karna ruas jari-jari itu berpasangan dan suatu saat ruas jari itu akan menemukan pasangan untuk saling menggenggam. Yah, aku setuju dengan pendapatmu. Dan saat itu aku berpikir bahwa ruas-ruas jari yang ada digenggamanku saat itu, ingin kumiliki. Dan ingin kugenggam erat.

Duduk bersama, bercerita di depan kost itu menyenangkan. Kau bercerita banyak hal tentang dirimu dan aku mendengarkan. Kau bilang, "jika ada seseorang yang menyayangiku, maka aku akan lebih menyayanginya". Dan ujung cerita kau mengatakan, "aku nggak tahu suatu saat nanti kau akan jadi jodohku atau tidak, tapi aku ingin menjalaninya dan biarkan semuanya mengalir seperti air". Setelah kau mengatakannya, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku menyukaimu, tapi tiba-tiba kau mengatakan bahwa kau tidak bisa menyukai orang baru.

Ini adalah pertama kalinya aku merasa aku tak dianggap. Oke, aku bukan siapa-siapa, mungkin aku saja yang terlalu Ge-eR saat itu, aku merasa kau adalah "teman dekat"ku. Tapi saat itu kau lebih memilih berkumpul dengan teman-temanmu, bukan memilih untuk menemuiku, meski hanya sebentar. Tapi setelah itu kau menunjukkan suatu hal, dimana aku merasa bahwa kau membutuhkanku dan kau menganggapku ada. Aku nyaman dengan itu.

Panggilan sayang? Aku tahu, dua orang yang saling memanggil sayang belum tentu memiliki hubungan spesial. Ini 2013, generasi metropolitan yang bahkan sesama jenis pun saling memanggil sayang. Contoh, gue dan sahabat gue *ah, lupakan*.

Dan aku menyukai panggilan sayang itu. Hingga pada akhirnya, aku terbiasa dengan panggilan itu dan merasa bahwa memanggil nama, terlalu kasar untukku *entah bagaimana denganmu*. Kau sempat pula meminta untuk membuat panggilan sayang yang lucu. Hanya untuk kami berdua. Tapi aku menolak. Kau tahu kenapa aku menolak? Aku dulu pernah membuat panggilan sayang dengan mantanku. Sampai sekarang aku tak bisa memanggil namanya, karna menurutku itu terlalu kasar dan aneh.

Dulu, temanku sering mengatakan, untuk melupakan mantanku aku harus membiasakan diri memanggil dia dengan namanya, bukan panggilan sayang kami. Tapi gagal, sampai sekarang, sampai aku hanya mengganggap orang itu sebagai kakakku, aku tak bisa menghilangkan panggilan itu. Yang aku takutkan adalah, ketika kita seperti sekarang ini aku tak bisa melupakan itu dan mengembalikan kebiasaan memanggil nama. Kau tahu, sekarang aku berusaha keras untuk tidak memanggilmu, karna aku tak ingin memanggil namamu.

Ketika kau katakan bahwa kau mulai menyayangiku, ingin sekali kujawab dengan "ya", "sama", tapi sama sekali tak bisa keluar dari mulutku dan yang keluar hanyalah air mataku. Tapi entah apa yang kutangisi. Semua yang membuatku ragu padamu, kau sudah tahu, dan itu yang membuatmu menjauh dariku, yang membuatmu "pergi" dariku.

Ketika kubilang aku mati rasa, itu benar, aku tak berbohong. Hatiku benar-benar mati. Hatiku membeku. Aku tak merasakan apapun. Dan ketika itu terjadi, aku butuh sesuatu untuk mencairkannya kembali. Aku butuh seseorang untuk menemaniku.

Ketika aku bercerita tentang rahasiaku, aku butuh waktu ribuan kali untuk memikirkannya. Butuh banyak keberanian untuk mengatakan pada seseorang. Bahkan memikirkan untuk bercerita saja air mataku sudah menetes. Dan ketika itu, kau pertanyakan kepercayaanku padamu? Aku kecewa. Apakah aku harus bilang bahwa aku percaya padamu, baru kau akan merasa bahwa kau dipercayai? Apa kau tidak mengerti, dengan aku menceritakan rahasiaku saja, itu artinya aku benar-benar mempercayaimu.

Aku mempercayaimu untuk menjagaku, untuk jadi pelindungku, untuk tetap disisiku ketika aku terjatuh,
Itulah sebabnya, kenapa kubilang aku tak mempercayaimu dan aku tak mempercayai satupun manusia di dunia ini. Kau pikir aku tak merasakan sakit ketika mengatakan itu padamu? Hatiku sakit begitu memikirkan kau bukan orang yang bisa kupercaya dan untuk apa aku menceritakan suatu hal pada orang yang tak kupercaya. Memangnya aku ABG? Yang semua kondisiku ingin diketahui oleh orang lain, siapapun itu.

Sebenarnya, aku masih bingung kenapa kau tiba-tiba pergi. Apakah karna kubilang aku kecewa padamu? Apakah karna kau sakit hati dengan semua perkataanku? Atau karna aku tak mau melakukan sesuatu yang kau inginkan? Atau karna aku tak bisa membuatmu bahagia? Tak bisa membuatmu nyaman?

Dan yang sampai saat ini aku heran, kenapa wanita itu tidak pernah keliatan ketika kita bareng? Dan kenapa dia harus datang ketika kita ada masalah? Tak bisakah kita selesaikan berdua? Tak bisakah kita bicarakan baik-baik, tanpa harus aku melihat ada wanita disampingmu setelah kau bilang ingin sendiri.

Yah, aku memang kasar. Aku memang tak tahu diri. Aku bilang sayang padamu, dan aku juga bilang aku menyayangi orang lain juga. Kau tahu, setelah ku katakan tidak padamu, aku juga melakukan hal yang sama pada orang itu. Aku ingin berdiri sendiri. Tapi tak kusangka setelah itu kulihat wanita lain disampingmu.

Tapi yang sudahlah, mungkin memang harus begitu ceritanya. Dan ini adalah tulisan terakhir tentangmu. Setelah ini, tak akan ada lagi tulisan-tulisan lain tentangmu, dipikiranku, dihatiku, atau pun di blogku yang penuh dengan sampah-sampah di pikiranku.

Aku tak ingin melupakanmu, aku hanya akan membuang rasa ini. Rasa yang kau beri, rasa yang kutolak, dan rasa yang ingin kau tinggalkan. Agar kita bisa berteman lagi, berteman dengan sewajarnya, seperti yang aku dan kau mau. 
Read More..

Aku Rindu, Tatapan Itu (Part 2)

Rasa ini benar-benar tak menyenangkan. Sepertinya berat badanku turun drastis, sudah seminggu nafsu makanku berkurang, mm.. bukan, lebih tepatnya tak ada. Aku bahkan tak tahu aku lapar atau tidak, yang jelas aku tak ingin makan. Kalau bukan karna aku masih sayang perutku dan aku tak ingin lagi melihat kamar VIP di bangunan kokoh berwarna putih itu, mungkin aku tak akan makan seharian penuh.

My spirit not back yet. Sudah berulang kali kutata kembali mindset-ku. Tapi semangatku benar-benar tak mau kembali. Kucoba untuk bersenang-senang seperti yang biasa ku lakukan ketika aku bosan dan jenuh, tapi sama sekali tak mempan. What should I do, God? Aku benar-benar merasa seperti zombi di tengah padatnya hiruk pikuk  globalisasi. Jiwaku serasa hilang dan tak kunjung kembali.

Is everything okay, God? Is this my way? Really? Are You sure? Aku terlanjur mengepakkan sayapku and I'm so happy. Then, why You fall me down like a snow white? Slowly and I really fall down again. Inikah caramu untuk membuatku lebih kuat lagi? Itu yang 2 tahun lalu bener-bener belum cukup? Forgive me please, God.

Sekarang siapa lagi yang mau Kau kenalkan, God? Aku harus ketemu siapa lagi? Aku harus mulai darimana lagi? Should I start from begining? New story? Again? Sampai kapan? Apa menurutmu aku belum cukup siap untuk menjalani hidupku yang benar-benar "hidup"?

Kalau gitu nggak usah dikenalkan, God, jangan kenalkan aku orang yang bukan jodohku. Caramu melatih kesabaran dan keikhlasanku bener-bener bikin aku nggak nafsu makan, God. Aku pengen makan banyak, aku pengen makan enak, aku pengen tidur nyenyak. Beneran, God.

Bukan makhluk-makhluk disekitarku yang kuinginkan buat jaga aku kalau di kamar sendiri, galau sendiri, mereka nggak bisa bikin nafsu makanku bertambah, God. Please,,,, aku laper, tapi bener-bener nggak bisa masuk makanannya, mau seenak apapun bener-bener nggak enak rasanya.

Bukan berarti karna aku seneng nonton film zombi, kemudian aku pengen jadi zombi, nggak gitu juga kali, God. Please,, beri aku semangat, sedikit aja dulu nggak pa2, kan nanti lama-lama jadi bukit. God, Kau kenalkan aku dengan dia selama 4 bulan, nggak mungkin kan Kau balikin semangatku dalam 4 bulan? Itu lama banget, itu nyiksa God.

God, aku pengen jadi mutiara, mutiara di dasar laut yang diperebutkan oleh semua orang dan hanya seorang saja yang akan memilikinya. Mungkinkah? Tapi,, ahhggg,, bahkan sekarang saja nggak ada yang ingin memilikiku.

God, a lot saver. Terima kasih karna Kau tak pernah pergi dariku. Terima kasih karna Kau masih sangat menyayangiku. Terima kasih atas semua yang Kau berikan. Terima kasih karna Kau memberiku orang tua yang sangat sayang padaku, yang selalu mengajariku untuk memberi, selalu mengajariku untuk bersyukur, selalu mengajariku untuk ikhlas, dan selalu mendukungku disaat aku terjatuh seperti ini.

Percayaku hanya milik-Mu, begitupun dengan nyamanku, hanya Kau yang bisa membuatku percaya pada manusia, hanya Kau yang bisa membuatku nyaman pada manusia. Forgive me, God, aku selalu mengeluh padamu. Aku selalu meminta padamu. Karna hanya Kau satu-satunya yang bisa kumintai pertolongan, hanya Kau satu-satunya yang bisa memberiku jalan di dunia ini.

God, terima kasih telah memberiku tatapan itu, meski sebentar, tak akan pernah kulupakan. Karna tatapan itu, aku sangat menyukainya. Aku benar-benar menyukainya. Tapi ini jawaban-Mu, ini adalah jalan yang Kau pilihkan untukku, aku tahu, Kau ingin membuatku lebih kuat lagi. A lot saver, God. You're my everything, always.
Read More..

Aku Rindu, Tatapan Itu

Ini bukan apa-apa. Aku ingin menuliskan kembali kisah cintaku. 2 tahun lalu adalah terakhir kali aku jatuh cinta sebelum 2 kisah cintaku berikut. Awal Oktober tahun lalu (red. 2012), aku menyukai seseorang yang benar-benar baru ku kenal. Aku menyukainya dipandangan pertama. Aku nyaman dipertemuan kami pertama kali. Hingga pada akhirnya dia mengatakan bahwa dia tidak bisa jatuh cinta pada orang yang baru dikenalnya. Kami saling mengenal selama sebulan dan sebulan pula waktuku untuk melupakannya. Cukup singkat.

Akhir November, aku mengikuti training sebuah provider terkemuka yang saat ini menjadi lahan pemasukanku. Seminggu masa training, kulihat seorang yang berbeda di kaca mataku. Tentu dia adalah seorang lelaki. Hanya sekejab aku melihat tatapan matanya, mirip seseorang yang dulu pernah kusayang. Yah, ketika itu sebelum aku sadar akan tatapan itu, aku hanya menerka-nerka, dan aku berkata pada diriku, "tatapan itu, aku rindu".

Dalam hitungan hari, akhirnya aku berkenalan dengan tatapan itu. Itu pertama kali aku berbicara langsung dengan tatapan itu, di sebuah lapangan futsal yang menghijau. Saat itu semuanya baik-baik saja.

Hari demi hari, mungkin karna air mengalir dengan cepat, tatapan itu semakin mendekat ke arahku. Hari itu, sore yang cukup redup karna mentari (mungkin) sedikit malu untuk memperlihatkan sosoknya. Tatapan itu duduk di sampingku, di bangku yang cukup lebar untuk duduk bersanding. Banyak cerita darinya, dan aku mendengar dengan antusias tentang cerita hidupnya. Cerita sedih di hidupnya. Hingga pada akhirnya, lidahpun berkata "aku nggak bisa langsung suka dengan orang yang baru kukenal". Hatiku berdegup kencang ketika mendengar kalimatnya, mengingat seorang pernah mengatakan itu padaku sebelumnya dan akhirnya dia pergi menghilang meninggalkanku. Entah apa yang kurasa, ingin menangis, tapi tak cukup air mata yang bisa diperas. Mungkinkah aku mulai menyukai tatapan itu?

Sadar bahwa aku mulai menyukai tatapan itu, hatiku bergegas mundur, seakan merasakan trauma, meski itu bukan trauma. Aku hanya berpikir, aku akan ditinggalkan kembali ketika aku mulai menyayangi seseorang. Meskipun tatapan itu (sempat) mengatakan bahwa ia tak akan pergi meninggalkanku. Saat itulah, aku mulai membangun kepercayaanku di atas hatinya.

Entah mengapa hatiku sering membeku bagai es sejak 2 tahun lalu. Puluhan mata memandang dan puluhan hati mendekat, tak ada yang membuat hatiku tergetar. Itu juga sering kualami di sela ceritaku bersama tatapan itu.

Semakin lama waktu berlalu, tatapan itu menjadi lebih dekat, dekat, dan lebih dekat lagi padaku. Aku merasakan nyaman di hatiku. Tapi aku tetap menyangkal bahwa itu tidak benar, lebih baik aku pergi daripada ditinggalkan. Rasa itu sungguh membuatku tak nyaman.

Beribu hal membuatku berpikir keras. Cara pikir kita berbeda, cara pandang kita berbeda, cara menghadapi masalah juga berbeda, aku sadar kami sama-sama egois, tak ada yang mau mengalah, dan aku tahu benar bahwa tak ada orang yang benar-benar sempurna di dunia ini.

Aku munafik. Iya. Aku sungguh munafik. Semakin lama aku sadar bahwa aku menyukai dan aku menyayangi tatapan itu. Tapi pikiranku menyangkal. Sebenarnya yang "trauma" itu hatiku atau pikiranku? Mungkin "trauma" itu yang membuatku ragu dan tak yakin dengan tatapan itu. "Trauma" akan kalimat itu, "trauma" akan kepercayaan yang dinodai oleh kebanyakan orang disekitarku.

Sontak aku mulai posesif, aku mulai ingin diperhatikan, tentu oleh orang yang kusayang, ya, siapa lagi kalau bukan tatapan itu. Ini adalah awal dari mimpi buruk yang sudah kupikirkan sejak aku mendengar kalimat itu. Awalnya aku benar-benar bertekad bahwa aku tak boleh meminta, aku ingin memberi. Dan ketika aku benar-benar butuh untuk meminta, aku meminta untuk berada disisiku, benar-benar disisiku sekali saja. Tapi harapanku benar tak dianggap. Aku tahu keadaannya, aku tahu dia sedang tak sehat, dan aku tahu bahwa aku meminta di waktu yang salah. Tapi aku benar-benar ingin tatapan itu ada disampingku saat itu.

Sebenarnya, ini tidak kurencanakan. Tapi ketika itu, bukan tatapan itu yang datang padaku, orang yang benar-benar kuharapkan. Orang lain yang dulu pernah hidup di hatiku, datang menemaniku. Orang itu menghiburku di atas kebosananku yang teramat sangat. Well, orang itu sungguh sempurna di pikiranku, kami begitu dekat, tapi tak ada sedikitpun gejolak di hatiku saat bertemu dengannya. Yang kupikirkan saat itu tetap sebuah tatapan yang sangat kurindukan.

Sampai pada akhirnya, aku benar-benar marah. Sebenarnya bukan karena tatapan itu. Ada hal lain yang sedang membuatku benar-benar marah. Tatapan itu begitu baik bersedia menjadi pelampiasan kemarahanku. Dan aku begitu jahat menjadikan dia sebagai kambing hitam dalam kemarahanku. Kata-kataku yang kasar, kata-kataku yang selalu spontan ketika aku marah, kata-kataku yang selalu didominasi oleh logika ketika aku marah, kata-kataku yang tidak ingin kalah dengan ribuan kata-kata "malaikat" yang terucap dari tatapannya, (telah) membuatnya sakit hati dan terpukul. Aku tahu keadaannya, aku tahu posisinya yang sedang berada di tepi jurang dan menunggu uluran tangan sang malaikat, dan aku sama sekali tak ingin mengalah ketika itu, hingga akhirnya aku benar-benar mendorongnya ke dalam jurang yang curam itu.

Bisa kau bayangkan betapa jahatnya aku?

Itulah awal dari kesedihanku, awal dari penyesalanku, dan itulah awal dari rasa bersalahku pada tatapan itu, tatapan yang benar kusayang, tatapan yang benar membuatku nyaman, tatapan yang sangat kurindukan, dan aku menafikan semua kenyataan itu.

Aku ingin menebus rasa bersalahku. Apapun, dengan apapun itu. Aku ingin menariknya dari jurang itu. Aku ingin menghapus sakit hatinya oleh perkataanku. Apakah itu mungkin? Aku ingin membuatnya bahagia. Sungguh, aku ingin membuatnya bahagia.

Tapi itu terlambat, tatapan itu balik menolakku. Aku sakit oleh perkataanku sendiri, oleh pikiranku sendiri. Dan aku sangat sakit ketika melihat tatapan itu menatap sepasang mata lain, di depan mataku, sejengkal, setelah ia menolakku.

Sakit dan ini benar-benar sakit. Inikah hukuman-Mu? Atau inikah jawaban-Mu atas doa-doaku?

Tuhan, peluk aku, damaikan pikiranku, luaskan hatiku.
Read More..