Hari apa yang paling spesial bagi kebanyakan masyakarat Indonesia diantara tujuh hari yang ada? Adalah Sabtu, dimana banyak orang yang mendewakan bahwa "sabtu malam" adalah hari kasih sayang bagi pasangan kekasih baik yang baru maupun yang sudah lama, bagi pasangan suami-istri, dan mungkin bagi pasangan kakek-nenek pula. Cukup bagus mendefinisikan hari sabtu malam sebagai hari kasih sayang bagi pasangan kekasih, namun bagiku hari sabtu tetaplah hari sabtu. Hari dimana semua orang di negeri tercinta ini dapat dengan bebas melakukan kegiatan diluar kegiatan rutinnya, entah untuk berkumpul bersama keluarga, berlibur, maupun untuk sekedar beristirahat melepaskan penat yang menumpuk setelah enam hari melakukan aktivitas rutinnya. Kenapa sabtu malam? Kupikir karena hari minggu adalah hari libur nasional bagi masyarakat negeri ini.
Sabtu, 11 Juni 2011, hari yang sangat melelahkan dan cukup menyenangkan meskipun masih saja ada bumbu-bumbu kesepian di hati yang paling dalam. Bermain (read. jalan) bersama salah seorang teman baik menjadi alternatif paling mujarab untuk mengusir kesepian di hari yang diagung-agungkan cukup banyak orang tersebut. Aku, yang sampai sekarang masih sendiri pun melakukan hal tersebut, karena berlibur bersama keluarga tak mungkin dilakukan untuk saat ini. Begitu pula dengan teman baikku.
Aku dan teman baikku memutuskan untuk membahagiakan diri kami dan sejenak melupakan beban hati masing-masing. Dan Flying Fox di Ledok Sambi-Kaliurang menjadi pilihan kami untuk melancarkan keinginan tersebut. Flying Fox sepanjang 200 meter di atas aliran lahar dingin Merapi cukup memacu adrenalin kami. Sungai yang terbentuk dari benturan-benturan material Merapi itu menjadi pemandangan Ledok Sambi saat ini. Hamparan pasir bercampur abu Merapi yang telah tergilas air, serta batu-batuan yang berukuran cukup besar kini menghiasi tempat rekreasi dan outbond yang dulunya nampak hijau dan asri. Namun sayangnya, kami tak membawa bekal kamera untuk mengabadikan moment ini.
Usai ber-flying fox ria, kami menjelajah area outbond di sana. Kami berjalan menuju lokasi outbond yang (saat ini) telah dipisahkan oleh material-material Merapi dan aliran sungai lahar dingin yang cukup deras. Menapaki material Merapi yang kini telah memadat dan jembatan bambu di atas aliran lahar dingin Merapi membuat tubuhku seakan masih ikut bergoyang begitu sampai di ujung jembatan. Beberapa tenda terpasang dengan megahnya di area itu. Juga bangunan berhias batu yang dulunya dijadikan penginapan bagi pengunjung kini telah disulap menjadi gudang penyimpanan kebutuhan rekreasi oleh pengelola.
Di perjalanan penjelajahan kami di area outbond, kami mendapati gemercik air yang keluar dari sebatang bambu yang ditancapkan dalam tanah di "perbukitan" itu. Aku yakin bahwa itu adalah air "tuk" atau mata air asli dari bukit itu. Karna kulihat air itu begitu jernih dan bening, mengalir dengan damainya dengan jalan yang telah terbentuk, dan mereka pun mengairi sawah-sawah di sekitarnya.
Tak cukup jauh dari tempat itu, kami bertemu dengan segerombolan anak lelaki usia 9-12 tahun sedang bermain di area outbond. Anak-anak yang mengaku bahwa dirinya "bolang" itu nampaknya warga dari desa setempat yang sedang iseng bermain di sana. "Kita tadi habis makan-makan mbak, ngrayain teman kita yang baru lulus tuh." Ungkap salah satu dari mereka menceritakan apa yang sedang mereka lakukan di sana, sambil menunjuk salah satu bocah yang dimaksud. Spontan kami iyakan saja omongan mereka karena kami juga melihat batangan kayu yang sudah menjadi arang di bawah tenda gubuk di pinggir area. Mereka juga sedikit mempertunjukkan kebolehkan mereka berjalan di atas bambu dengan kolam yang siap menangkap tubuh mereka jika tak kuasa menyeimbangkan tubuh mereka di atas bambu yang berukuran 5-7 meter. Sebelum beranjak pulang, mereka memberitahu kepada kami bahwa besok (hari ini) akan ada pertunjukan "lengger" di tempat itu dengan pemain para perangkat desa setempat. Bocah-bocah yang menarik, itu pikirku.
Seiring dengan kepulangan mereka ke habitatnya (read. rumahnya), aku dan teman baikku pun kembali ke pos awal dimana kami menitipkan helm kami. Keringat mengucur cukup deras dengan dukungan terik mentari yang masih bertahan tuk meyinari kegiatan kami. Dan akhirnya kami telah berjalan dari ujung hingga ke ujung dan kembali ke lagi ke ujung titik awal.
Setelah berpamitan dengan pengelola tempat, kami pun mengakhiri perjalanan itu dengan hati yang bungah dan berharap datang kembali ke tempat itu dengan membawa pasukan perang. Dan perjalanan kami di sabtu sore pun berlanjut menuju tempat lain, yaitu GSP (Grha Saba Pramana) menjadi tempat yang beruntung untuk kami kunjungi untuk sekedar memberi semangat kepada tim robotik STMIK Amikom Yogyakarta dalam KRI (Kontes Robot Indonesia). Meski pada akhirnya harapan kami untuk menjadi suporter yang baik tidaklah sama seperti apa yang telah kami pikirkan.
to be continued. . . ^.^
Sabtu, 11 Juni 2011, hari yang sangat melelahkan dan cukup menyenangkan meskipun masih saja ada bumbu-bumbu kesepian di hati yang paling dalam. Bermain (read. jalan) bersama salah seorang teman baik menjadi alternatif paling mujarab untuk mengusir kesepian di hari yang diagung-agungkan cukup banyak orang tersebut. Aku, yang sampai sekarang masih sendiri pun melakukan hal tersebut, karena berlibur bersama keluarga tak mungkin dilakukan untuk saat ini. Begitu pula dengan teman baikku.
Aku dan teman baikku memutuskan untuk membahagiakan diri kami dan sejenak melupakan beban hati masing-masing. Dan Flying Fox di Ledok Sambi-Kaliurang menjadi pilihan kami untuk melancarkan keinginan tersebut. Flying Fox sepanjang 200 meter di atas aliran lahar dingin Merapi cukup memacu adrenalin kami. Sungai yang terbentuk dari benturan-benturan material Merapi itu menjadi pemandangan Ledok Sambi saat ini. Hamparan pasir bercampur abu Merapi yang telah tergilas air, serta batu-batuan yang berukuran cukup besar kini menghiasi tempat rekreasi dan outbond yang dulunya nampak hijau dan asri. Namun sayangnya, kami tak membawa bekal kamera untuk mengabadikan moment ini.
Usai ber-flying fox ria, kami menjelajah area outbond di sana. Kami berjalan menuju lokasi outbond yang (saat ini) telah dipisahkan oleh material-material Merapi dan aliran sungai lahar dingin yang cukup deras. Menapaki material Merapi yang kini telah memadat dan jembatan bambu di atas aliran lahar dingin Merapi membuat tubuhku seakan masih ikut bergoyang begitu sampai di ujung jembatan. Beberapa tenda terpasang dengan megahnya di area itu. Juga bangunan berhias batu yang dulunya dijadikan penginapan bagi pengunjung kini telah disulap menjadi gudang penyimpanan kebutuhan rekreasi oleh pengelola.
Di perjalanan penjelajahan kami di area outbond, kami mendapati gemercik air yang keluar dari sebatang bambu yang ditancapkan dalam tanah di "perbukitan" itu. Aku yakin bahwa itu adalah air "tuk" atau mata air asli dari bukit itu. Karna kulihat air itu begitu jernih dan bening, mengalir dengan damainya dengan jalan yang telah terbentuk, dan mereka pun mengairi sawah-sawah di sekitarnya.
Tak cukup jauh dari tempat itu, kami bertemu dengan segerombolan anak lelaki usia 9-12 tahun sedang bermain di area outbond. Anak-anak yang mengaku bahwa dirinya "bolang" itu nampaknya warga dari desa setempat yang sedang iseng bermain di sana. "Kita tadi habis makan-makan mbak, ngrayain teman kita yang baru lulus tuh." Ungkap salah satu dari mereka menceritakan apa yang sedang mereka lakukan di sana, sambil menunjuk salah satu bocah yang dimaksud. Spontan kami iyakan saja omongan mereka karena kami juga melihat batangan kayu yang sudah menjadi arang di bawah tenda gubuk di pinggir area. Mereka juga sedikit mempertunjukkan kebolehkan mereka berjalan di atas bambu dengan kolam yang siap menangkap tubuh mereka jika tak kuasa menyeimbangkan tubuh mereka di atas bambu yang berukuran 5-7 meter. Sebelum beranjak pulang, mereka memberitahu kepada kami bahwa besok (hari ini) akan ada pertunjukan "lengger" di tempat itu dengan pemain para perangkat desa setempat. Bocah-bocah yang menarik, itu pikirku.
Seiring dengan kepulangan mereka ke habitatnya (read. rumahnya), aku dan teman baikku pun kembali ke pos awal dimana kami menitipkan helm kami. Keringat mengucur cukup deras dengan dukungan terik mentari yang masih bertahan tuk meyinari kegiatan kami. Dan akhirnya kami telah berjalan dari ujung hingga ke ujung dan kembali ke lagi ke ujung titik awal.
Setelah berpamitan dengan pengelola tempat, kami pun mengakhiri perjalanan itu dengan hati yang bungah dan berharap datang kembali ke tempat itu dengan membawa pasukan perang. Dan perjalanan kami di sabtu sore pun berlanjut menuju tempat lain, yaitu GSP (Grha Saba Pramana) menjadi tempat yang beruntung untuk kami kunjungi untuk sekedar memberi semangat kepada tim robotik STMIK Amikom Yogyakarta dalam KRI (Kontes Robot Indonesia). Meski pada akhirnya harapan kami untuk menjadi suporter yang baik tidaklah sama seperti apa yang telah kami pikirkan.
to be continued. . . ^.^
ahihiii.. asek. asek. yuk yak yuuuk..
*berharap ada kuis lagi biar dapet vouchernya lagi. :D
hagzhagzhagz. . . uhuuuiiii,,, :D