Filosofi "Blangkon" Masyarakat Jawa

Beberapa hari yang lalu keluarga pak dhe ku (kakak dari ibu) datang ke sini (Wonosobo). Yah... seperti biasa agenda wajib setahun sekali menjelang lebaran. Mereka tak lama menginap di sini, karena keluarga mereka memang tergolong orang sibuk. Hanya sehari semalam saja, namun itu sudah cukup melegakan bagi keluarga ibuku di sini. Cukup menyenangkan berkumpul dengan mereka, karna banyak sekali informasi dan pengetahuan tambahan yang kudapat dari mereka.

Ketika sedang asyik bercengkrama dan entah sedang membicarakan apa, tiba-tiba pak dhe ku melontarkan sebuah pertanyaan yang membuatku hanya bisa tersenyum dan meringis. Tak pernah kusangka dan membuatku ikut berpikir juga. Dia bertanya tentang filosofi dari blangkon Jogja. hahaha.... spontan pula kujawab, "orang Jogja kan alus-alus pak dhe", entah apa hubungannya dengan topik pembicaraan kami. hahaha.... ^^ yang jelas jawabanku masih nyrempet dengan arah pembicaraan kami (soalnya ku juga lupa topiknya apa waktu itu).


Setelah mikir-mikir, lama-lama jadi penasaran juga. Karna sempet denger juga blangkon Jogja memang punya filosofi tersendiri baik bagi yang makai ataupun yang buat. Ya sudah,,, setelah searching-searching di mbah google, akhirnya ku dapet juga filosofi dari blangkon itu sendiri. Check it out. . . ^^ mariiii. . .

- Blangkon -

Blangkon adalah tutup kepala yang terbuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut mereka dibagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.(http://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon)

Blangkon mempunyai beberapa jenis, yaitu blangkon khas Yogyakarta dan blangkon khas Surakarta. Blangkon yang mempunyai ”mondolan” adalah blangkon khas Yogyakarta, hal ini dikarenakan pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikatkan keatas (seperti Patih GajahMada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, kemudain berkembang menjadi blangkon, yang kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat Jawa yang pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertuturkata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri. Balangkon gaya Surakarta (Solo) tidak menggunakan mondolan karena pria Solo waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambut karena pengaruh Belanda, dan karena pengaruh Belanda mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudaan. Tidak adanya tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengat menikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwa untuk menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orang Jawa.(http://www.pintunet.com/lihat_opini.php?pg=2008/02/20022008/72610&mini)

Penempatan blangkon di kepala merupakan anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu membawa nilai-nilai ke-Islaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang dihasilkan oleh otak, agama Islam selalu menjadi mainstream. Jadi, segala pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan. Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana Islam yang rahmatan lil’alamin. Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain sebagai hamba Tuhan juga merupakan khalifah di bumi. ( Fatkhul Anas, dalam tradisi Blangkon di www.satriakelana.org)

Jadi dapat disimpulkan bahwa filosofi budaya blangkon masyarakat Jawa pada umumnya adalah masyarakat yang pandai menyimpan rahasia (nggak ember....), bertutur kata dan bertingkah laku penuh kiasan (alias tukang "ndopok alias ngapusi",,, hehehe. . .) dan bahasa yang halus dan lembut.

Namun bila dilihat dari filosofi blangkon di atas, ada pergesaran nilai filosofi dari blangkon itu. Karena filosofi sekarang tentang masyarakat Jawa dengan budaya blangkon adalah sikap plintat-plintut atau hanya berani dibelakang, orang Jawa itu suka ”ngerasani”, sikap seperti itu sama halnya dengan orang memakai blangkon yang pentolannya mesti dibelakang. (http://najiholic.blogspot.com/2008/09/stereotype-budaya-blangkon.html)

hehehe. . . itulah yang kudapat setelah ngubek-ubek simbah google. . . semoga bermanfaat. . . ^^ terima kasih wat yang udah nulis artikel tersebut di atas (alamat yang tercantum).

(sumber gambar : http://tjokrosuharto.com/catalog/images/blangkon/Dbc-134.jpg)

6 Responses
  1. pardi Says:

    artikel yang cukup menarik nih mbak.
    salam kenal dari Warok Ponorogo


  2. Anonymous Says:

    trimakasih infonya mbak....sehat selalu


  3. iya sama2, salam kenal balik :)


  4. JeGhe Says:

    sebenernya kurang setuju sama kata "ngrasani" di atas..
    ini dari blog sebelah: "Orang jawa tidaklah sampai hati melakukan teguran langsung kepada orang yang berbuat salah atau melanggar peraturan. Itulah gambaran dari intelektual budaya jawa demi menghindari kemungkinan konflik atau ketidaksenangan."
    tp nice info, salam blangkon yaa.. :D


  5. @kang pardi, kalau blangkon khas ponorogo maknax apa, kang? kenapa harus ada buntutnya yang pathing klawer. salam ponorogozone


  6. @JeGhe : kayaknya bahasa dari blog sebelah lebih enak dibaca ya,, hahaha...
    @Fibri : terimakasih sudah berkunjung..


yuk, bercuap :)