Aku Rindu, Tatapan Itu

Ini bukan apa-apa. Aku ingin menuliskan kembali kisah cintaku. 2 tahun lalu adalah terakhir kali aku jatuh cinta sebelum 2 kisah cintaku berikut. Awal Oktober tahun lalu (red. 2012), aku menyukai seseorang yang benar-benar baru ku kenal. Aku menyukainya dipandangan pertama. Aku nyaman dipertemuan kami pertama kali. Hingga pada akhirnya dia mengatakan bahwa dia tidak bisa jatuh cinta pada orang yang baru dikenalnya. Kami saling mengenal selama sebulan dan sebulan pula waktuku untuk melupakannya. Cukup singkat.

Akhir November, aku mengikuti training sebuah provider terkemuka yang saat ini menjadi lahan pemasukanku. Seminggu masa training, kulihat seorang yang berbeda di kaca mataku. Tentu dia adalah seorang lelaki. Hanya sekejab aku melihat tatapan matanya, mirip seseorang yang dulu pernah kusayang. Yah, ketika itu sebelum aku sadar akan tatapan itu, aku hanya menerka-nerka, dan aku berkata pada diriku, "tatapan itu, aku rindu".

Dalam hitungan hari, akhirnya aku berkenalan dengan tatapan itu. Itu pertama kali aku berbicara langsung dengan tatapan itu, di sebuah lapangan futsal yang menghijau. Saat itu semuanya baik-baik saja.

Hari demi hari, mungkin karna air mengalir dengan cepat, tatapan itu semakin mendekat ke arahku. Hari itu, sore yang cukup redup karna mentari (mungkin) sedikit malu untuk memperlihatkan sosoknya. Tatapan itu duduk di sampingku, di bangku yang cukup lebar untuk duduk bersanding. Banyak cerita darinya, dan aku mendengar dengan antusias tentang cerita hidupnya. Cerita sedih di hidupnya. Hingga pada akhirnya, lidahpun berkata "aku nggak bisa langsung suka dengan orang yang baru kukenal". Hatiku berdegup kencang ketika mendengar kalimatnya, mengingat seorang pernah mengatakan itu padaku sebelumnya dan akhirnya dia pergi menghilang meninggalkanku. Entah apa yang kurasa, ingin menangis, tapi tak cukup air mata yang bisa diperas. Mungkinkah aku mulai menyukai tatapan itu?

Sadar bahwa aku mulai menyukai tatapan itu, hatiku bergegas mundur, seakan merasakan trauma, meski itu bukan trauma. Aku hanya berpikir, aku akan ditinggalkan kembali ketika aku mulai menyayangi seseorang. Meskipun tatapan itu (sempat) mengatakan bahwa ia tak akan pergi meninggalkanku. Saat itulah, aku mulai membangun kepercayaanku di atas hatinya.

Entah mengapa hatiku sering membeku bagai es sejak 2 tahun lalu. Puluhan mata memandang dan puluhan hati mendekat, tak ada yang membuat hatiku tergetar. Itu juga sering kualami di sela ceritaku bersama tatapan itu.

Semakin lama waktu berlalu, tatapan itu menjadi lebih dekat, dekat, dan lebih dekat lagi padaku. Aku merasakan nyaman di hatiku. Tapi aku tetap menyangkal bahwa itu tidak benar, lebih baik aku pergi daripada ditinggalkan. Rasa itu sungguh membuatku tak nyaman.

Beribu hal membuatku berpikir keras. Cara pikir kita berbeda, cara pandang kita berbeda, cara menghadapi masalah juga berbeda, aku sadar kami sama-sama egois, tak ada yang mau mengalah, dan aku tahu benar bahwa tak ada orang yang benar-benar sempurna di dunia ini.

Aku munafik. Iya. Aku sungguh munafik. Semakin lama aku sadar bahwa aku menyukai dan aku menyayangi tatapan itu. Tapi pikiranku menyangkal. Sebenarnya yang "trauma" itu hatiku atau pikiranku? Mungkin "trauma" itu yang membuatku ragu dan tak yakin dengan tatapan itu. "Trauma" akan kalimat itu, "trauma" akan kepercayaan yang dinodai oleh kebanyakan orang disekitarku.

Sontak aku mulai posesif, aku mulai ingin diperhatikan, tentu oleh orang yang kusayang, ya, siapa lagi kalau bukan tatapan itu. Ini adalah awal dari mimpi buruk yang sudah kupikirkan sejak aku mendengar kalimat itu. Awalnya aku benar-benar bertekad bahwa aku tak boleh meminta, aku ingin memberi. Dan ketika aku benar-benar butuh untuk meminta, aku meminta untuk berada disisiku, benar-benar disisiku sekali saja. Tapi harapanku benar tak dianggap. Aku tahu keadaannya, aku tahu dia sedang tak sehat, dan aku tahu bahwa aku meminta di waktu yang salah. Tapi aku benar-benar ingin tatapan itu ada disampingku saat itu.

Sebenarnya, ini tidak kurencanakan. Tapi ketika itu, bukan tatapan itu yang datang padaku, orang yang benar-benar kuharapkan. Orang lain yang dulu pernah hidup di hatiku, datang menemaniku. Orang itu menghiburku di atas kebosananku yang teramat sangat. Well, orang itu sungguh sempurna di pikiranku, kami begitu dekat, tapi tak ada sedikitpun gejolak di hatiku saat bertemu dengannya. Yang kupikirkan saat itu tetap sebuah tatapan yang sangat kurindukan.

Sampai pada akhirnya, aku benar-benar marah. Sebenarnya bukan karena tatapan itu. Ada hal lain yang sedang membuatku benar-benar marah. Tatapan itu begitu baik bersedia menjadi pelampiasan kemarahanku. Dan aku begitu jahat menjadikan dia sebagai kambing hitam dalam kemarahanku. Kata-kataku yang kasar, kata-kataku yang selalu spontan ketika aku marah, kata-kataku yang selalu didominasi oleh logika ketika aku marah, kata-kataku yang tidak ingin kalah dengan ribuan kata-kata "malaikat" yang terucap dari tatapannya, (telah) membuatnya sakit hati dan terpukul. Aku tahu keadaannya, aku tahu posisinya yang sedang berada di tepi jurang dan menunggu uluran tangan sang malaikat, dan aku sama sekali tak ingin mengalah ketika itu, hingga akhirnya aku benar-benar mendorongnya ke dalam jurang yang curam itu.

Bisa kau bayangkan betapa jahatnya aku?

Itulah awal dari kesedihanku, awal dari penyesalanku, dan itulah awal dari rasa bersalahku pada tatapan itu, tatapan yang benar kusayang, tatapan yang benar membuatku nyaman, tatapan yang sangat kurindukan, dan aku menafikan semua kenyataan itu.

Aku ingin menebus rasa bersalahku. Apapun, dengan apapun itu. Aku ingin menariknya dari jurang itu. Aku ingin menghapus sakit hatinya oleh perkataanku. Apakah itu mungkin? Aku ingin membuatnya bahagia. Sungguh, aku ingin membuatnya bahagia.

Tapi itu terlambat, tatapan itu balik menolakku. Aku sakit oleh perkataanku sendiri, oleh pikiranku sendiri. Dan aku sangat sakit ketika melihat tatapan itu menatap sepasang mata lain, di depan mataku, sejengkal, setelah ia menolakku.

Sakit dan ini benar-benar sakit. Inikah hukuman-Mu? Atau inikah jawaban-Mu atas doa-doaku?

Tuhan, peluk aku, damaikan pikiranku, luaskan hatiku.
0 Responses

yuk, bercuap :)