I Just Wanna Love MySelf

Ini curhatanku. Ingat, hanya curhatanku. Jika kalian menbaca ini, segera lupakan. Karna ini (sekali lagi) hanya curhatanku. Dan tidak ada hubungannya dengan hidup kalian *bussyyeettt dah (LOL)

Yang tahu cerita hidupku dari SMA sampai sekarang pasti tahu siapa orang yang (sempat) sangat aku sayang selama ini, (mungkin) sampai sekarang. Rian. Yah, orang itu benar-benar nggak bisa hilang dari pikiranku, sampai sekarang.

Beberapa minggu lalu, aku sempat memimpikannya. Dalam mimpiku, dia menelponku, bicara panjang lebar dengan segala gaya slengekan'nya. Intinya dia menyuruhku untuk berhenti memikirkannya dan mencari yang lain. Sehari kemudian, orang yang sangat diharapkan oleh orang tuaku untuk menjadi pendamping hidupku juga mengatakan hal yang sama, "cari yang lain". Oh Tuhan, what's happened?? or what's happening?? What's Your plan? Yeah, itu yang kutanyakan saat itu, tentu. Menangis? Iya. Just a little (maybe).

Okay, masih ingat kapan terakhir kali Rian menghubungiku? 2 November 2006. "Sayang, nanti pas ultahmu kita pergi bareng ya. Kamu mau kado apa?" Pasti bisa ditebak kan apa jawabanku? "Cukup kamu datang ke tempatku, aku udah senang. Cukup ada kamu."

After it? Aku hanya menunggu, menunggu datangnya keajaiban bahwa benar-benar akan datang seorang yang (sangat) kutunggu. Akhirnya, usia 17-ku dirayakan oleh sahabat-sahabat baikku. Aku menunggu dan itu sudah cukup. Berusaha untuk melupakannya dan aku yakin bisa.

3 tahun yang lalu, (mungkin) adalah hal terberat yang pernah kualami. Biasalah ya mahasiswa alay yang diputusin sama cowoknya. Hahaha... Setelah itu benar mati rasa. Tak bisa percaya pada satupun orang di dunia ini. Sebenarnya ada alasan lain yang tak bisa diceritakan disini tentang mengapa aku mati rasa dan tak bisa percaya pada seorangpun. Dan cerita ini sangat merubah cara pandangku pada setiap orang.

Sebelum tulisan ini, udah kuceritakan bukan bahwa aku juga sempat suka pada beberapa orang tapi tak ada hasil *kasian banget gw*. Now, ada lagi seorang yang aku suka. Aku suka dia di pandangan pertama *kenapa sih pandangan pertama begitu menggoda*. Dan aku nggak bisa deskripsiin kenapa aku bisa suka sama dia. Jadi, plis, jangan tanya alasannya, jangan tanya mengapa, karna aku tak tahu jawabnya.

Well, dia udah punya pacar. Biasa lah ya, ikut nimbrung di ibu-ibu arisan gosip sana sini, mmm... salah, lebih tepatnya nguping. Yeah, just nguping. Well done. Aku nyerah seketika pas denger dia dah punya pacar. Sori, gw bukan perusak rumah tangga orang. Oke, lupa sejenak tentang dia. Tapi suliiiitttt,,, tiap hari guweh ngeliat dia gitu loohh. Mana bisa lupa, dan semakin lama, aku semakin menyukainya *shy. Tuhan please,,, tutup mataku rapat-rapat pada orang yang sudah punya pendamping *batinku*.

Finally, I still like him *gileee lu dro!*

Suatu malam setelah long break, aku ketemu dia, secara nggak sengaja. Dia minta nomer hp'ku dan dengan sigap (tentu) aku kasih lah ya,, please deh, kesempatan itu cuma datang sekali *sori bro, guweh belajar dari pengalaman*. Okay, aku denger sana sini tentang dia, baik buruknya dia, dan yang paling tak kusangka, seorang temanku "menawarkan" dia padaku. "Sama ini, mau nggak?" Speechless, itu pasti *mauuu beuuudd >> batinku*.

Pertanyaannya, "kenapa sahabatnya 'menawarkan' dia padaku? Sedangkan dia sangat tahu sekali bahwa temannya sudah punya pacar."

Akhirnya kita deket dan semakin deket. Oke, abaikan soal kedekatan ini, karna sekarang kita sangat dekat. Dan nggak perlu dibahas lagi.

Now, kita bicara tentang "aku". Tentang aku yang (sampai saat ini - masih) mati rasa dan sedikit sekali kepercayaan yang bisa kuberikan pada seseorang. Saat ini, aku sedang mencoba percaya di atas ketidakpercayaanku padanya. Abaikan omongan orang lain, yang penting aku nyaman dengannya, apapun kata orang lain, mereka bukan "aku" yang menjalaninya secara langsung. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Tentu saran dan "kebaikan" orang lain sangat aku terima, tapi bukan berarti aku harus melakukannya, bukan? I drive my action. That's me.

Aku mencoba percaya, aku berusaha percaya padanya, aku belajar percaya padanya. Aku yakin, ini nggak akan sia-sia. Setidaknya jika aku gagal, itu adalah satu pelajaran lagi buatku.

Tentang mati rasa yang kualami, saat ini masih. Setengah hati pada hubungan ini? I don't want it. Aku sadar, aku sayang dia, sekarang sangat menyeyanginya. Dan inilah lack'ku. Aku masih "takut" untuk "sakit" kembali. Aku "takut" untuk "percaya". Trauma? I don't know. Takut ditinggalkan? Maybe. Aku hanya me-maintenance diriku sendiri agar nanti jika dia "pergi" entah dengan alasan apapun, aku tak terlalu (red. perlu) merasa "sakit".

Egois kah? Tak dewasa kah? I just wanna love my self.

Lalu, apa hubungannya aku menceritakan tentang hari dimana Rian terakhir menghubungiku? Aku takut itu akan terjadi lagi, dan sepertinya akan benar-benar terjadi di usia 24-ku. Jujur, aku tak ingin merasakan perasaan yang sama seperti itu lagi.

Masih ingat kan? Ini hanya curhatanku. Setelah ini, lupakanlah. Dan aku berjanji untuk tetap tersenyum, untuk kalian yang selalu menyemangatiku dan untuk dia yang (saat ini) sangat aku sayang. Love you all, guys. And do love you beib.
0 Responses

yuk, bercuap :)